Sebari saja dengan enceng gondok

Menanggapi usulan MenKLH agar air tersebut diolah dulu saya hanya menanggapi secara sederhana saja, siapa tahu berguna.

Saat ini lumpur yang ada 30% berupa padatan (lempung) sedangkan porsi air 70%, kedua nya bisa dilihat secara terpisah. Lumpur ini juga mengalir dengan debit yang saat ini sudah lebih dari 50 000m kubik sehari. Artinya jumlahnya bertambah dengan akselerasi penambahan.

Penelitian uji kimia serta uji biologi akan sangat diperlukan oleh KLH tentunya, karena ini akan menjaid tanggungjawabnya sebagai ‘penjaga’ lingkungan hidup di Indonesia (yang jaga ya seluruh bangsa juga sih).

Lempungnya barangkali bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar bangunan yg sudah teruji bisa dipakai. Asalkan digratiskan barangkali penanganannya hanyalah masalah koordinasi cara pengambilan yang aman.

Porsi air yang 70 % yg rencananya dibuang kelaut ini perlu penanganan lain. Nah uji kimiawi perlu waktu, serta pengujian biologi memerlukan waktu. Disisi lain jumlah volume air tidak mau menunggu hasil uji ini. Maka akan lebih mudah seandainya disebari saja dengan satu atau dua truk enceng gondok di kolam dimana jumlah airnya sudah lebih banyak (lumpurnya sudah mengendap). dengan cara sederhana ini maka akan terlihat apakah enceng gondok bisa hidup atau tidak. Kalau enceng gondoknya hidup tentusaja “alam” akan dengan mudah menyerapnya sebagai bagian dari influx “air aman” di laut.

Apakah berarti tidak ada perubahan ekosistem ?
Ya tentusaja pasti ada. Namun megingat jumlah violume yg semakin besar maka cara mudah ini mungkin akan lebih gampang dilihat siapa saja tentang kualitas air terhadap biota-biota laut.

Bagaimana dengan lumpurnya ?

Lumpur ini seandainya dimanfaatkan gratis maka orang-orang akan mengambilnya dengan sukacita. Buktikan dulu bahwa lumpur (padatan) ini berguna. Ntah untuk apa saja, asalkan diubah menjadi bahan komoditi.

Kalau melihat debit sungai porong saat ini, maka saya yakin jumlah padatan yng mengalir dibawa air Sungai Porong Jauuuh lebih besar dari yg akan di tambahkan oleh lumpur porong.

Seorang kawan IAGI (ikatan ahli geologi Indonesia) menulis :

Mungkin ini sekedar “prioritas” saja pak .
Kalau dibuang kelaut:
1. Bukannya itu merupakan “unlimited dilution” ?
2. Kali Porong-nya sendiri emang sudah “buthek” kan dari sononya kan?
3. Pernah iseng-iseng, melihat posisi delta kali Porong tahun 1990 (dari LAR), bandingkan dengan posisi delta tersebut dari peta topo, data ahun 1943 (?), ternyata dalam kurun waktu 50 tahun, delta tersebut maju ekitar 3 km, alias sekitar 60 meter per tahun. Lha kalau itu ikonversikan kedalam luas daerah vs ketebalan delta, angkanya menjadi
menarik.
4. Kesampingkan dulu masalah toksisitas karena ini sudah “beyond our skill”.
5. Sementara iya, ini masih musim kemarau, bentar lagi juga musim hujan.

Lha kalau “blethok” ini, let’s say 70% air dan 30% padatan, dan salinitas mirip air laut, dengan debit 50,000 m3 per hari, maka akan didapat 15,000 m3 padatan perhari, kalau ditebarkan ke area seluas 30 m2 (estimasi minimum delta Porong), ini akan menimbulkan ketebalan 0.5 m per hari, setara 18-20 cm per tahun (mudah-mudahan ndak berkepanjangan). It is nothing dibanding dengan sedimentasi alami di Porong.
Disisi lain, bukannya daerah delta Porong sudah menjadi areal per-tambak-an? Blessing in disguessing?

Sebagai pihak yang “awam” dalam lingkungan, secara pribadi saya koq kurang bisa menerima alasan discharging blethok ini kelaut ya? Apakah ini bukan merupakan pertarungan “ego” antar pihak-pihak terkait?
Pilih 3000 orang klelep dan potensi kerugian tak terhingga atau nambahi luas delta lagi?

Hmm, mungkin harus mengesampingkan ego dan mulai berpikir logis dan taktis.
Apapun penyebabnya, selamatkan manusianya dulu donk.
BSM

5 Responses to Sebari saja dengan enceng gondok

  1. I enjoy you because of each of your efforts on this web site. Kate delights in working on research and it is simple to grasp why. Many of us learn all relating to the lively way you present efficient thoughts via the web blog and therefore improve contribution from others on the area and our own daughter is learning a whole lot. Enjoy the rest of the new year. You’re the one conducting a really great job.

  2. KHARISTYA berkata:

    LUMPURNYA KIRA-KIRA BISA DITERIMA AMA SINGAPURA GA YA?, SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK MENAMBAH LUAS DARATAN SINGAPURA…..

    APABILA BISA DAN MAU, LUMAYAN KAN DAPAT MENGATASI KERUWETAN YANG ADA SAAT INI. YANG PASTI ONGKOS DAN BIAYA NYA PASTI LEBIH MAHAL DARIPADA MENGEKSPOR DARI PULAU NIPAH.

  3. gazali berkata:

    Kalau saya usul agar lumpur itu di masukkan/disedot kedalam mobil Molen yang biasa membawa semen untuk ngecor, lalu di campurkan semen + krikil dimanfaatkan tuk perbaikan jalan di daerah jawa timur yang sudah rusak. Ide untuk memanfaatkan lumpur menjadi bahan komoditi itu bagus juga, tapi perlu biaya pemerintah yang lumayan besar untuk mengangkut & meneliti apakah lumpur itu aman untuk bahan komoditi, seperti contoh pembuatan ubin, batu bata, guci/kendi dan lain2. Atau mungkin ada pihak swasta yang tertarik menjalankan proyek ini, jika berhasil dapat di pastikan menjadi sumber lapangan pekerjaan untuk orang2 yang tertimpa musibah.

    Sekian
    mohon di maafkan jika ada kesalahan dalam penulisan ini.

  4. indarto berkata:

    Menteri KLH menurut saya telah berpikir jauh ke depan. Orang boleh panik tetapi bukan berarti pemerintah harus ikut-ikutan mengambil keputusan secara terburu-buru. Kalau diperbolehkan membuang lumpur langsung ke sungai dan atau ke laut, siapapun bisa melakukannya! tidak perlu menyewa ahli yang gelarnya berderet-deret. Kebijakan pemerintah yang mengharuskan PT. Lapindo mengolah lumpur sebelum airnya dapat di buang adalah untuk melindungi manusia dan lingkungan agar dampak yang ada dapat di lokalisir. Pembuangan langsung ke sungai atau laut tanpa pengolahan bukanlah total solution. Malah penambahan masalah: keadaan sekarang + areal baru yang tercemar (sungai, laut, pesisir, selat, dll.). Kalau pemerintah mengiyakan sekarang, cepat-cepat menyerah pada keadaan, membiarkan dan melumrahkan situasi sementara PT. Lapindo dan ahli penghentian semburan yang di “sewa”nya masih terus trial and error alias coba ini coba itu tanpa hasil dienakkan..isu nya akan bergeser menjadi pemerintah yang salah dan tidak mampu. Perlu diingat: ini BENCANA INDUSTRI bukan bencana alam. Siapa yang berbuat dia harus bertanggung jawab. Menteri KLH berusaha membuat kebijakan yang benar secara hukum dan aturan agar tidak dihujat 5-10 tahun ke depan atau bahkan selamanya bila nanti di kemudian hari laut dan pesisir tercemar dan rusak berat. Ini akibat PT. Lapindo bukan KLH!

  5. agorsiloku berkata:

    Menteri KLH yang mensyaratkan agar lumpur diolah dulu sebelum dibuang ke laut itu, jelas-jelas keblinger. Usul ini tidak lucu, aneh, dan ngaco. Boro-boro ngurusin untuk diolah… Untung manampung lumpur, menahan semburan lumpur saja sudah kelabakan, keblinger, dan menghasilkan ribuan pengungsi. Memangnya ada alat pengolah yang sama cepatnya dengan semburan lumpur. Emang sih, ditampung dulu saja di kolam-kolam, tenggelamkan lagi sekian desa, setelah itu baru diolah dan dibuang ke laut. Jelas, ini KEBOHONGAN yang dipaksakan… atau yang jelas akan terjadi, yang diolah satu kubik, yang disemburkan 1000 kubik lumpur.
    Yang pedihnya, rakyat dan masyarakat dibohongi terus dengan ide-ide yang jelas tidak masuk akal ini.

Tinggalkan komentar