Upaya Penutupan Semburan Lumpur
SEPTEMBER, TIM ITS UJICOBA ENERGY BALANCE SYSTEM
Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya akan melakukan ujicoba penutupan semburan lumpur Porong dengan teknologi energy balance system (menggunakan energi dari pusat semburan untuk mengembalikannya masuk ke perut bumi). Ujicoba yang diperkirakan akan dilakukan pada awal September 2007 ini melibatkan 10-15 orang.
Koordinator tim penutupan semburan lumpur ITS, Ir Djaja Laksana ditemui di kediamannya Jl Pucang Surabaya, Senin (20/8) mengatakan, langkah ujicoba ini telah mendapat lampu hijau (surat izin) dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) 10 hari yang lalu. “Kami mengirimkan surat kepada BPLS dan akhirnya diizinkan. BPLS sangat mendukung energy balance system (EBS). Ujicoba ini akan dilakukan selama seminggu,” katanya.
Menurut Djaja, timnya pernah berhasil melakukan ujicoba penutupan semburan air di rumah Herman Samin dengan metode hukum Bernouli (tekanan semburan ke atas dan ke bawah harus seimbang), Desa Jatirejo-Porong beberapa bulan lalu. Nantinya, teknologi EBS ini juga bisa digabungkan dengan metode Bernouli atau berjalan sendiri. Ini karena biaya operasional yang dibutuhkan juga lebih mahal, kalau menggabungkan dua teknologi ini.
EBS itu nantinya bersifat untuk mengalirkan lumpur dari pusat semburan ke wet line (saluran pelimpah). Wet line ini mengarah ke areal tambak sebelah timur Porong seluas 4.000 hektare. Peralatan yang telah dibeli untuk teknologi EBS adalah pipa berdiameter enam inchi sebanyak 16 batang (panjang 6 meter/batang atau totalnya 96 meter), flange (sambungan pipa) sebanyak 40 buah, drum untuk pelampung 10 buah dan cremona (pipa berdiameter tiga inchi uhtuk penguat pipa diameter enam inchi). “Biaya yang dibutuhkan untuk EBS ini dipastikan lebih murah dari teknologi counterweight dari Jepang. Kalau pakai teknologi Jepang kan butuh dana Rp 4 miliar per hari. Biaya ujicoba EBS ini sampai saat ini tidak ada masalah dan sudah dipersiapkan,” ujarnya tanpa menyebutkan biaya EBS itu.
Tim ITS telah memaparkan teknologi EBS ini kepada Dewan Riset Nasional BPPT dan beberapa menteri di Jakarta. Hanya saja kendala yang dikhawatirkan beberapa pihak adalah bagaimana jika terjadi subsidence (tanah ambles) di pusat semburan saat menerapkan teknologi EBS. Untuk itu, tim ITS akan memperhitungkan segala risiko yang kemungkinan terjadi di pusat semburan.
“Kami juga akan menghitung total head (ketinggian semburan lumpur, red) di pusat semburan dengan metode hukum Bernouli. Ini karena sangat penting untuk mengetahui panjang pipa yang dibutuhkan untuk EBS. Yang susah adalah mengetahui berapa volume lumpur yang keluar per harinya,” tuturnya.
Keterangan Foto:
Koordinator tim penutupan semburan lumpur ITS, Ir Djaja Laksana saat memaparkan teknologi energy balance system di kediamannya Jl Pucang Surabaya, Senin (20/8).Foto:tok
ᏔOW just what Ӏ was searching for. Came here by searching for
ⲭvdo
Sugeng Enjing..and salam kompak selalu ..kaya salam pramuka aza..he.he.he, kemarin
seharian nggak buka blog ini serasa ada yang hilang rasanya,coz kalo ngebaca masuk-
an2 dari para sohibku,buanyak yang dapat ogut ambil hikmahnya..iya nggak bro?…
bung Usil punya pendapat bahwa kalo statement yang dikeluarkan oleh para elmuawan
bentuknya sdh mirip kaya Firman aza!!! itu fenomena yang terjadi sekarang ini!!! karena banyakan faham Silent is GOLD masih dianut????? apa iya yah????mbuh,
Whooo! pak Inyo, itu mah elmu sekertaris dan hanya efektip pada zaman
doeloe sebelum computer populer. Sekarang mana ada lagi fungsi dari
sekertaris yg gak tergantikan dengan computer. Dikantornya usil, udah
belasan tahun gak pake sekr.
He he yang masih pake sespri saat ini, tinggal pejabat. Anehnya sespri
nya gak bisa steno. Maklum sesprinya jantan, bisanya panggul tas bos.
Mana komen dari teman2 lama, pak Syahraz, pak Prem dll.
Biar rame gitu……
Si Aa juga udah lama gak khotbah, kumaha atuh Mang?
OmPapang/P. Usil, ada slogan spt ini…
point 1 : Boss itu tdk pernah Saleh…eh “Salah”.
point 2 : Klo “Salah” kembali ke point 1
Pak Usil, contoh lain, di Jaman Pak Harto ada proyek sejuta hectar sawah pasang surut dilahan gambut, sampai sekarang gak kedengaran hasilnya. Konon melibatkan profesor-profesor dari UGM dan IPB. Ada yang bilang gambutnya setebal 8 meter, padahal untuk sawah dibutuhkan tebal tanah (soil) kurang dari satu meter. Jadi dapat disimpulkan, di Indonesia banyak orang pandai yang rumangsa (merasa) bisa , tetapi sedikit yang bisa ngrumangsani (menyadari) kalau ilmunya tidak tepat guna.
Ompapang, kayaknya ada yang gak klop dengan dunia akademis kita.
Mereka sangat terkesan takut salah. Kenapa ya kalo saya atau Om
yang salah tulis/berpendapat, kita gak harus malu. Selama ini entah
berapa banyak yang sudah usil salah tulis dan telah diperbaiki oleh Om,
dkk lainnya, tapi usil gak usah malu to? Malahan dengan rasa bersyukur
kita terima koreksi itu.
Tapi lain lagi didunia kampus, seolah-olah statement dari seorang dosen,
apalagi rektor, adalah ‘firman’ dan HARUS benar. Sungguh lucu mereka
itu, terbelenggu dengan ego sempit karena merasa diri sendiri yang paling
pintar dan orang lain goblok semua. Padahal fakta empirisnya, tidak sedikit
juga ERROR dari kalangan kampus. HDCB contoh paling fresh.
Padahal kalo mereka mau berdiskusi, mungkin persoalan LuLa ini sudah
lama ketemu solusinya. Usil membayangkan gabungan sbb:
Kalangan akademisi menguasai TEORI
sedangkan,
RIrawan, omPapang dkk punya PENGALAMAN (malahan bisa ngetung juga)
Kalo digabung mestinya: POWERFUL!!!
PLOK…PLOK…PLOK….yang diatas itu bukan sembarang komentar!
Memang kalo sesama ahli saling komentar, jebulnya lain dari yang lain.
Kalo usil ngomentarin yang ahli, yah…nyebelin, tapi yang diatas itu….
ueeenak eh!.
Judul ini dia yang mulai, tapi sejak tgl 30 baru satu ini komentarnya,
ada apa? Mungkin mang Ipin tahu ada apa dengan si-Harimau Tua?
Pak Inyo, kayaknya orang-orang ITS,ITB maupun BPLS membaca diskusi kita, cuma untuk rilis keluar mereka melalui jurubicara (humas) yang diberi wewenang untuk memberi informasi ke masyarakat. Saya yakin diantara mereka juga mengakui etungan Pak RIrawan cukup akurat dan yang ditakutkan mereka kalau etungan mereka BERBEDA dengan etungan Pak RIrawan dan ternyata uji coba dilapangan mereka menemui kegagalan. Seperti HDCB, maunya TRIAL,tapi ERROR yang didapat.!!
Aku baca ulang tulisan pertama pak RIrawan diatas 30-08-07, terutama
butir 2 dan 3. BUKAN MAIN…… analisanya.
Pada beberapa hari yang lalu, BPLS memberi informasi tentang penurunan
debit semburan, tapi tidak dijelaskan sebabnya. Seharusnya tim ITS setiap
saat ikut memantau dilapangan, sehingga mereka tahu penyebabnya dan
memberi tahu BPLS.
Yang menarik, apakah analisa ITS sama dengan pendapat pak RIrawan?
Atau malahan justru ITS sendiri tidak tahu (belum tahu) penyebab dari
penurunan tsb.
Akan sangat menarik jika ada dari tim ITS bisa membantah analisa dari
pak RIrawan diatas. Ato jika ada bantahan dari pakar yang lainnya?
Monggo!
Uuuuh! kalo pak Dhe bisa dapet bocoran hitungan dari ITS, itu baru seru!
mbotem nopo2 Pakdhe, asal “request” P. RIrawan ada pencerahan dr PakDhe, ibarat P.RIrawan itu punya semangat tinggi utk “jalan Sehat” tapi pelaksanaannya di hutan lebat pada “tengah malam”dan harus pake kaca mata hitam lagi, yakopo??
PakDhe+OmPapang, mbok iyao… temen2 PakDhe/OmPapang yg di BPLS dimohon baca2 kanal-V P. RIrawan+Pond-susunnya P. Syahraz, sbg bahan kajian
Maf Inyo.
aku sedang di Mbandung, jadi rada telat responsnya 🙂
Yuup siap ndan!!!….taarrriiik!!!!!! happy banget buat segala kesibukan dari sohibku
maju terus untuk kesuksesan buah hatinya…lam kompak selalu
Mang Ipin! kalo usil lagi diem, itu malahan sebagai tanda lagi kerja keras
membuat photo copy/kompilasi. Aku takut kalo tiba2 ‘siDia’ mogok
nulis seperti beberapa waktu yang lalu, kan runyam. Tahu kan siapa?
Tariiik mang!
Papa TITA, kita koq sama ya? padahal gak janjian lho? Usil juga
sangat menikmati rumus yang kayak cacing2 itu, dan walo udah baca
100x tetap gak bisa tahu cara etungnya. Tapi aku gak setuju ada
dibelakang. Kita harus didepan, tapi ya..itu tukang kompor…walah!
Karena sibuk, baru buka blog saat ini ( jam 12:40) itupun baru judul ini
yang dibaca.
Cuman takut dimarahi omPapang, mang Ipin, pak Inyo dkk maka segera
usil memberi ‘tanda reaksi’.
Walau tidak serajin mang Usil, sentilan saya rupanya cukup bikin pak Inyo muncul.
Selamat datang pak RIrawan, selamat datang pula rumusan2 yg bikin panas kembali otak sepanas gairah lusi.
Seperti sebelum-sebelumnya saya cuma bisa mantau jalannya diskusi dari luar, ndak ngerti blas itungan2 walau semua rumusan pak RIrawan saya baca dengan seksama, yg paling suka adalah pas bagian “dengan memakai rumus … bla bla bla (skip) … sehingga total xxx ” 😀
Kalau disuruh ngarahin model dan jepret2 itu bagian saya, tapi kalau sudah namanya Lusi biar pak Dhe, pak RIrawan, mang Usil, om Papang, Pak Syahraz, bu Hime dll yg berada di depan.
Salam
YTH. P. Usil + PakDhe Rovicky
saya ulang request Pak RIrawan, krn ga direspon P. Usil, juga ga ada kabar dari PakDhe blaasss.. ?? apa sdg pada “Semedi” neh ?? telp./e-mail aja Ir Djaja Laksana komandannya team ITS….( sy ga tau no. telp./e-mail-nya lho?.), kali ada temen2 di blog ini kenal/sahabat dg beliau( Ir Djaja Laksana )yg tau no telp/e-mail-nya?? bisa infokan ke P. Usil.( gpp khan P. Usil ??)
“Tentang EBS ini terus terang saya banyak belum ngertinya, terutama tentang “… teknologi ITS yang mirip sistem kerja pompa naik-turun dan pada kapasitas tertentu akan memaksa lumpur masuk ke dalam perut bumi …”, yang sudah dipatenkan itu. Saya belum berhasil memperoleh konsep lengkapnya. Tentu sangat baik, sekiranya bisa diuraikan lengkap di blog ini. Tolong deh, pak usil saja yang memperjuangkan, atau minta bantuan pak dhe.”
Pak inyo, sampai sekarang saya belum paham detil EBS, sehingga sulit untuk saya berkomentar. Ibarat gunung berapi, di bawah sana ada sumber energi aktif. Kalau keluarannya dihambat, bisa meletus atau membuat saluran keluaran yang baru. Atau misalnya selubungnya sangat kuat, sehingga dibawah sana terbentuk tekanan yang sangat tinggi, maka air aquifer tidak bisa lagi mendatangi sumber panas, sehingga proses pembentukan gas uap air berhenti.
Namun tanpa konsep yang mendalam dan perhitungan yang jelas, berarti sifatnya coba-coba, saya kira keberhasilannya juga sulit diramalkan. Oleh sebab itu, pernah saya katakan, sudahlah… tingkat teknologi saat ini masih terlalu sulit untuk menghentikan aktifitas energi di kedalaman 3000 m itu. Lebih baik kita cepat fokus pada penanganan permukaan, yakni mengendalikan dan mengalirkan lumpur.
Perhitungan matematik menghasilkan design yang optimal dengan KANAL-V yang lebarnya cuma 1 m. Dengan sudut kemiringan 2%, KANAL-V itu dapat mengalirkan debit lumpur segar hingga 1 juta m3/hari atau 6x debit saat ini. Tetapi pak inyo benar, dengan debit diatas 350.000 m3/hari, arusnya sudah sangat deras, sehingga sedikit saja “ketidak-rataan” pada dasar kanal, maka alirannya akan mbludak ke kanan-kiri.. Ini bisa diatasi dengan menambahkan dinding-vertikal di kiri-kanan KANAL-V atau semacam penutup pada bagian atasnya. Yang agak sulit adalah design di awal KANAL-V, ketika lumpur segar baru memasuki KANAL-V, yang dimulai dengan kecepatan sangat rendah. Untuk itu harus dilakukan perhitungan numerik yang akurat, yang disesuaikan dengan debit lumpurnya.
Pak RIrawan, Hukum Bernoulli itu khan “Hidrostatis”, sdg lumpur yg “muncrat” sampe ke permukaan itu khan sifatnya “Hidrodinamik”, mungkinkah metode ITS itu bisa berhasil ?? sy dari dulu koq lbh “sreg” saran Bapak, pake kanal-V trus lumpur dialirakan ke tambak(4000Ha/sebelah timur pusat semburan) yg sebelumnya telah ditanam/terpasang bbrp buah pond-susunnya Pak Syahraz. tapi Pak, saya mo nanya neh, klo misal bener2 diterapkannya kanal-V trus pd suatu saat terjadi badai tropis/curah hujan sangat2 deras, apakah lumpur+air hujan yg berlebihan di badan kanal-V tsb msh tetep aman, ga “kocar-kacir/mbludak”ke kanan-kiri?
Alow Bung Usil,pa kabare??? ogut masih rajin ngikuti blog ini..don’t worry be happy,
btw selamat atas putri Bung Usil yang akan kuliah di jurusan Tehnik…coman ada pesan dari si Om Papang tuch mohon dibuka didomain sebelahnya…he.he..he,
berhubung ogut gak mudeng teknik EBS jadi ngikuti aza perkembangannya iya khan bro??lam kompak selalu
Yth pak inyo, pas saya tulis reply diatas, saya belum membaca tulisan pak inyo yang terakhir.
Kalau pipanya 42″ sepanjang 4000 m, diperlukan energi sebesar 491 Kw. Kalau dipakai pompa dengan effisiensi-hidrolik 0,7 dan effisiensi-driver 0,6; diperlukan daya total 1,17 Mw. Jelas cukup merepotkan, kalau dipakai mesin diesel atau listrik PLN. Gravitasi sangat jauh dari memadai.
Namun EBS ingin memakai energi dari pusat semburan. Hanya saya sama sekali tidak mengerti caranya bagaimana?
Aduh, pak usil lagi menambah saya jadi salah tingkah. Begitu luasnya alam sehingga tidak ada orang yang patut claim mengerti segalanya. Tentang EBS ini terus terang saya banyak belum ngertinya, terutama tentang “… teknologi ITS yang mirip sistem kerja pompa naik-turun dan pada kapasitas tertentu akan memaksa lumpur masuk ke dalam perut bumi …”, yang sudah dipatenkan itu. Saya belum berhasil memperoleh konsep lengkapnya. Tentu sangat baik, sekiranya bisa diuraikan lengkap di blog ini. Tolong deh, pak usil saja yang memperjuangkan, atau minta bantuan pak dhe.
Halo pak inyo, mohon maaf saya belum ngerti tentang konsep EBS, kecuali dasar teorinya memakai counter-weight atau counter-pressure. Pipa-pipa 6” itu kalau tidak salah untuk memperkuat tanggul cerobong di pusat semburan atau untuk memaksa lumpur dari luar masuk kembali ke lubang semburan.
Kalau debit lumpur segar: Q = 150.000 m³/hari ingin dialirkan melalui pipa ke Tambak di sebelah timur Porong, maka diperlukan daya sebesar: P = ½.ρ.λ.Q.u².L/d. Jelas tidak mungkin pakai pipa 6”, sebab untuk itu diperlukan daya lebih dari 2000 Mw per Km-nya. Tetapi jika dipakai pipa 20”, daya yang diperlukan menjadi 5 Mw per Km-nya. Dan bila dipakai pipa berdiameter 1,2 m, daya yang diperlukan hanya 70 Kw per Km-nya.
Namun dengan pipa besar, kecepatan aliran lumpur menjadi rendah, sehingga Reynold-number aliran itu rendah, yang berakibat terjadi pengendapan lumpur di dalam pipa. Pengendapan itu mempersempit diameter pipa, yang berakibat pada naiknya kebutuhan energi untuk dapat mengalirkan lumpurnya. Pada prinsipnya, mengalirkan lumpur lewat pipa bakal menemui sangat banyak masalah, belum lagi resiko korosi bila dipakai pipa baja akibat kadar belerang dan tingkat keasaman yang tinggi. Sudah banyak pipa yang terpasang di sana dan semuanya gagal mengalirkan lumpur.
Sebenarnya, dari semua konsep yang berdasarkan counter-pressure dengan menaikkan level genangan, maka metode double-cofferdam dari Takashi Okamura memiliki keunggulan. Pipa-pipa yang ditanam vertikal berjejer membentuk tanggul lingkaran besar, tidak masalah terhadap amblesan. Pipa-pipa yang ambles turun bisa disambung di atasnya dengan pipa baru. Sedangkan tanggul dari beton bisa pecah atau miring akibat amblesan.
Namun, sejak awal saya mempertanyakan konsep counter-pressure. Bagaimana perhitungannya, sehingga yakin mampu menghentikan semburan?
Oh..iya ada benarnya pak RIrawan bahwa kita tidak boleh
‘mancing gara2’. Memang juga tidak ada maksud kesitu.
Hanya saja kita yang peduli soal LULA berhak tahu apa yang
mereka kerjakan. Bukannya kita sepelekan ahli2 dari tim ITS
dan BPLS, karena pasti juga mereka sudah bahas secara
teknis tentang EBS ini. Tapi bukankah proses yang sama juga
dilakukan pada HDCB tempo hari, dan gagal juga to?
Ini artinya, ITS/BPLS tidak bisa claim bahwa hitungan mereka
sudah sempurna.
Maka sebaiknya mereka juga mempertimbangkan tulisan2
dari para ‘orang biasa’ diblog ini.
Contoh yang lain lagi, waktu yang lalu ITS mengatakan mereka memakai teori Bernoulli saat mencoba menutup semburan liar didesa porong sana.
Apa lacur, bu Hime bilang: “tidak ada teori Bernoulli disitu”
Nah loh, kita yang awam sepertinya di bego2kan. Kalo begini,
bukankah tingkat keberhasilan EBS pantas dipertanyakan?
Maka ada baiknya EBS ini didiskusikan secara konstruktip
oleh kedua kubu untuk mencapai sukses yang optimal.
YTH. PapaTITA
Apa kabar…, masih sibuk banget neh ?? 2 pakar sejati dah OL kembali neh P. Syahraz & P RIrawan, tolong kasih inputan donk, kumahak atuh? hehe…;)
ulang..YTH Bapak RIrawan:
mohon diberi detail itung2annya dr P. RIrawan ttg PEMAKAIAN MEDIA PIPA tsb mudah2an bisa dijadikan bahan pertimbangan oleh Team ITS
OmPapang, utk reverensi silakan baca: http://www.menlh.go.id/i/art/Buku%20Putih%20LUSI%20-%20draft%202.pdf
dsblm…Sekitar 16,000 hektar tambak di sepanjang dan di sekitar muara
Kali Porong…dst
jadi lahan tambak yg akan dimaamfaatkan oleh team ITS utk menampung lumpur itu sebenarnya baru 1/4nya aja dr total keseluruhan tambak yg ada
utk YTH Bapak RIrawan, salam kenal bapak….bawa oleh2 ga neh?, Team ITS pada teknik EBSnya(utk mengalirkan lumpur ke pond/tambak), beliau2 akan menggunakan media PIPA berdiameter 42 inchi, panjang 4000m(ITS kenalkan Metode Alirkan Lumpur Bukan lewat Kali Porong, Agustus 7th,2007), sudah saya kasih komentar bahwa hal tsb ga efektif mungkin malah banyak timbul masalah baru(reverensi: https://hotmudflow.files.wordpress.com/2007/04/mengalirkan_lumpur_secara_optimal_rev-02.doc)… tapi komentar sy tsb sudah dibaca oleh team ITS ato lom, saya ga tau? koq skr Team ITS dlm uji -cobanya masih tetep aja pake media Pipa, mohon diberi detail itung2annya ttg pemakaian pipa tsb barangkali bisa dijadikan bahan pertimbangan oleh Team ITS(ITS itu Suroboyo, wong Suroboyo iku biasane seneng ngajak “bolo’an”) tapi saya heran ama team ITS ini, koq ga ada yg mau kasih inputan/tukar pendapat di Blog ini?? gak ngono carane rek, yakopo??!!
utk P. Usil ‘N Mang Iping, dkk. …salam kompak
Akan sangat menarik sekali jika EBS tetap dilanjudkan (konon sudah
dapat izin dari BPLS). Dulu sebelum HDCB dicemplungkan, nasibnya
sudah dapat diramal oleh para ahli blog ini. Siapa? tentu sudah pada
tahu semua.
Apa pak RIrawan dapat sedikit lebih vulgar menjelaskan kepada kita
tentang nasib EBS ini kelak?. Saya melihat pak RIrawan sudah tidak
lagi seceplas-ceplos tempo hari….he..he..maaf!
Banyak orang berharap, termasuk saya, agar EBS ini bisa berhasil.
Menurut pak RIrawan bagaimana? Kalo bisa dengan hitungan lho pak.
Maaf! mintanya kelewat ruwet, habis rindu membaca ulasan bapak sih.
Mang Ipin ada dimana? Tariiik!
Hehehe, gaya pak usil ini khas. Iya, senang kita bisa ngobrol-ngobrol lagi. Nggak janjian muncul bareng sih, tapi ide pond-susunnya pak Syahraz ini memang bagus. Seandainya sejak awal dilaksanakan, paling cuma 150 ha lahan yang dikorbankan untuk 3 tahun. Lalu tahun ini dibangun Kaskade Kanal-V, maka tahun 2008/9 lumpur sudah bisa dialirkan ke laut. Tetapi sekarang sudah lebih 700 ha dan masih terus melebar.
Aduh pak usil, meskipun ‘usil’ mohon jangan mancing gara-gara. Sudah pernah ada yang tidak suka dan menganggap sok keminter. Saya cuma kuatir ngobrol-ngobrolnya malah jadi macet. Pada dasarnya semua ide counter-pressure itu ada logikanya. Hanya pernah saya pertanyakan, kalau energi sebesar 100-130 MW berhasil menyemburkan lumpur naik setinggi 3000 m, darimana menghitungnya hingga tiba pada hipotesa, bahwa sisa head atau tekanan cuma 27 m atau 40 m, sehingga semburan lumpur bakal berhenti setelah ketinggian lumpur mencapai 27 atau 40 m? Saya sungguh belum paham dan belum mengerti saja.
Aduuuh…akhirnya pak RIrawan muncul juga. Karena sibuk, tadinya gak
ada rencana buka blog hari ini. Astaga! hampir aku menyesal.
Uuuuh, bisa membaca lagi uraian tehnis ‘ciri-has’ pak RIrawan yang
disertai rumus hitungan, sungguh mantep.
Ini sungguh kebetulan, pas pak Syahraz muncul, pak RIrawan juga
nongol. Apa sudah janjian pak? Pasti omPapang sangat bergairah
menyambut teman lamanya.
Usil berharap dari tim ITS yang 10-15 orang bisa segera menanggapi
tulisan dari pak RIrawan yang mewakili tim KECIL. Kan gak ada alasan
menolak? wong yang ditanggapi juga rumus2 yang memang seharusnya
menjadi domainnya kalangan akademisi. Kalo gak punya nyali untuk
counter tulisan pak RIrawan, apa rencana EBS masih layak diteruskan?
Inilah cara UJI-PUBLIK suatu ide, menurut versi omPapang…
Halo, senang diskusinya di sini masih aktif. Malah muncul teman-teman neter baru: mang Ipin, pak Inyo, pak PapaTITA, pak Preman dll. Malah pak Syahraz juga sudah muncul lagi. Saya juga ikutan mang Ipin: “Salam Kompak Selalu!”
Hanya sayangnya di lapangan sepertinya tiada kemajuan. Tidak jelas, apakah ada langkah terobosan teknis yang baru dan tepat guna. Tanggul masih terus ditinggikan dan sering jebol. Spillway dilaporkan lebih sering macet akibat endapan dan lebih banyak mengalirkan air yang dipompa dari Kali Porong daripada membuang semburan lumpur. Pompa-pompa pelimpah dari akhir Spillway ke Kali Porong juga sering macet kepanasan dan overload akibat fluida yang kekentalan. Kali Porong pun sudah menunjukkan tanda-tanda pendangkalan lumpur yang membahayakan ketika musim hujan nanti.
Ada laporan tentang gejala penurunan debit semburan lumpur.
Menurut hemat saya, ada 3 alasan logis:
1. Seperti komentar pertama ompapang, debit aquifer di bawah sana berkurang akibat musim kemarau, sehingga produksi gas uap air juga berkurang. Namun saya ragu tentang ini.
2. Tambahan semacam mangkok penampungan extra akibat amblesan: h = 2 cm/hari dipusat semburan.
Dengan luas genangan A = 700 ha (= . r²), setiap hari terbentuk cekungan penampungan extra tanpa menambah tinggi permukaan genangan. Maka daya tampung extra itu: Ve = ⅓ . . r² . h = ⅓ . A . h = ⅓ x 700 ha x 10^4 m²/ha x 2 cm/hari = 46.667 m³/hari.
3. Tambahan penguapan selama musim kering akibat terik matahari dan makin meluasnya genangan. Terpaan sinar matahari yang jatuh ke bumi 1366 watt/m² tegak lurus, tetapi 6% dipantulkan dan 16% diserap oleh atmosfir, sehingga tersisa 1020 watt/m² yang menerpa permukaan tanah di puncak katulistiwa dalam keadaan udara sangat jernih. Katakanlah di musim kering ini ada rata-rata 30% tambahan energi panas yang menerpa 700 ha genangan lumpur, maka dalam 1 hari ada tambahan daya panas sebesar: P = 30% x 1020 watt/m² x 700 ha x 10^4 m²/ha x 8 jam/hari = 17.136.000 Kwh/hari = 6,16896 x 10^10 KJ/hari. Dengan nilai kalor penguapan air: e = 2250 KJ/Kg, maka energi panas itu cukup untuk menguapkan tambahan air lumpur sebanyak: V = P / e = 27.417.600 Kg air per hari ≈ 27.417 m³/hari.
Jika dijumlahkan: (46.667 + 27.417) m³/hari = 74.084 m³/hari
Ini pas setengah dari debit semburan yang 150.000 m³/hari, bukan?
Jadi bukan debit semburannya yang berkurang, melainkan yang tampak meluap keluar di pinggiran tanggul seolah-olah berkurang separuh!
Topik artikel ini adalah: SEPTEMBER, TIM ITS UJICOBA ENERGY BALANCE SYSTEM (EBS). Metode ini basisnya persis sama dengan:
– Pond-Susun dari pak Syahraz,
– Tanggul Mori diameter 200 m dan tinggi 50 m dari Prof James Mori Univ. Kyoto,
– Double Cofferdam dari Takashi Okamura,
– Blokath Dolthon dari pak Bambang Bahriro,
– Menara Hanoi dari pak tzc.
Semuanya membendung semburan lumpur, sehingga levelnya naik.
Tetapi EBS, Double Cofferdam dan Blokath Dolthon sangat tegas ingin menghentikan semburan dengan metodenya. Malah EBS ingin memasukkan kembali lumpur dari atas ke dalam lubang dengan metode semacam pompa-pipa yang naik-turun, sesuatu yang sulit saya cerna.
Sedangkan Pond Susun intinya ingin memperpanjang daya tampung. Ini sangat rasionil dan menurut saya seharusnya sudah dilakukan sejak awal, meskipun pada http://lapindo.topcities.com/, Pembahasan butir 4 dikemukakan pula: “…sampai lumpur tidak menyembur lagi karena tekanan sudah berkurang seiring bertambah tingginya elevasi pond di pusat semburan.” Hal ini saya ragukan dan pernah saya kritik, lihat: https://hotmudflow.wordpress.com/2007/02/16/hari-ini-bola-beton-mulai-sumbat-lumpur/#comment-11267; https://hotmudflow.wordpress.com/2007/02/16/hari-ini-bola-beton-mulai-sumbat-lumpur/#comment-11273
Tanggul Mori dan Menara Hanoi ingin memanfaatkan energi potensial dari pusat semburan untuk mengalirkan lumpur, suatu konsep cerdas bersama Pond Susun. yang saya usulkan digabungkan dengan KANAL-V, agar dapat mengalirkan lumpur setidaknya hingga sejauh 2 Km.
Sementara ini dulu teman.
Salam untuk pak dhe, ompapang, pak usil dan semuanya.
4000 hectare = 40 km2= 5 km X 8 km atau 4 km X 10 km , Luasnya kira-kira = 10 % dari Luas Kabupaten Sidoarjo. Amboi, bukan main !
Sorry OmPapang, maksudnya 4000 Hectare, temen sendiri salah dikit ga papa khan ?, hehe.., skr silakan Om itung2.
Pond-susun P. syahraz cuma butuh 500 HA aja sdg lahan yg trsedia 4000 HA, wah ini lbh dr cukup( bisa dibuat 8 kavlinng pond-susun lho!) , prospect banget..neh! mustinya team ITS ga menyia-nyiakan peluang ini, pd lahan terbuka(mungkin pond biasa) seluas 4000 HA….asumsi team ITS bisa menampung luapan lumpur hingga 10 – 15 th(ITS Kenalkan metode alirakan Lumpur Bukan Lewat Kali Porong, Agustus 7th, 2007), tapi klo diterapkannya metode pond- susun bisa mencapai lebih dari 2 kali lipatnya(artinya bisa bertahan hingga diatas 30 th), jadi stlh 15 th diterapkannya metode pond-susun, Team ITS ga perlu repot2 lagi musti cari lahan pengganti, gitu khan Om ?? diluar ide2 diatas…ga tau lagi klo emang ada rencana laen(BUMI PORONG BERUBAH WAJAH), misal: bumi porong akan dijadikan full ladang-minyak, lahan seluas 4000 HA tsb dipakai utk penempatan tangki2 raksasa, muara kali porong/laut porong jadi Pelabuhan kapal2 Tanker, kali porong disulap jadi terusan/kanal agar access kapal2 tangker ke ladang-minyak bisa lbh gampang…?? dst..dst….siapa ta’u ??
4000 m2( 0,4 hectare ), 400 hectare atau 4000 hectare ??
bentuk lingkaran itu adalah bentuk yang ideal. Untuk pelaksanaan di lapangan ya tetap butuh team survey (station maupun GPS) untuk membentuk lingkaran. Selain itu bentuk lingkaran juga dapat memudahkan menghitung tekanan tanah horizontal terhadap tanggul di semua titik. Jika konstruksi tanggul dibuat “menyudut”, maka titik “terkuat” ada di “sudut”, sedangkan titik terlemah ada di tengah-tengah (antara sudut dengan sudut).
Jika konstruksi tanggul dibuat “tidak lingkaran” atau acak, maka perhitungan luas area juga akan semakin sulit, dimana rentetannya juga akan bertambah panjang. Right?
Pakai EBS butuh 4000 hektar? kalau pakai pond susun cukup 500 hektar aja. Kalau mau diinjeksikan lagi ya silakan, asal lumpur belum mengendap (cuma memenuhi pond tingkat pertama saja).
YTH. PakDhe, P. Syahraz, OmPapang, dkk.
Utk Bak Penampungan Lumpur di area tambak seluas 4000m2 tsb diterapkan metode pond-susun( http://lapindo.topcities.com/) karya P. syahraz, utk kontruksi pond-susun tsb. tdk harus pake system lingkaran tapi disesuaikan dg demensi area yg tersedia, gimana?
utk team ITS mohon pond-susun(http://lapindo.topcities.com/) dipelajari sbg bahan pertimbangan.
Pak Dhe, menurut gambar stadia 3, mestinya ada bentuk gambar kawah yang penampangnya menganga, sehingga dapat menangkap kembali lumpur yang lebih dulu keluar sehingga dapat masuk kembali kebawah. Semacam sirkulasi seperti peristiwa konveksi (convection) pada air yang direbus dalam panci, bagian tengah naik, sedang bagian pinggir (keliling) bergerak turun.
yang diuraikan Pak Shahras itu sama dengan pemikiranku ketika menggambar ini
Lha berapapun volume lumpur yang keluar, harus ada plan dari EBS… Alias…. EBS pasti bisa dilakukan dengan volume berapapun juga… Namanya juga alam… Misalnya pada saat ada tebing tanggul yang sliding, maka solusinya juga ada. Begitu juga apabila volume lumpur yang keluar membesar atau mengecil. Pasti ada solusinya.
Untuk perhitungan, serahkan dengan pak RIrawan. Kalau saya sih cuma pake asumsi saja. Mau 150rb m3, 200rb m3, 100rb m3 per hari juga ga masalah…. Toh metodenya tetap EBS juga.
Logika sederhananya begini :
Jika kita menyedot gula dalam gelas, maka permukaan gula akan turun. Tapi jika gula yang kita sedot ditampung diatas permukaan gula yang turun tadi, maka ya ga jadi turun…
Nah untuk EBS ini sepertinya sedikit berbeda, jadi gula yang keluar harus diinjeksikan lagi ke dalam gelas…
Sedikit berbeda, tapi intinya sama : tidak membuang lumpur ke luar “area”
YTH. P. PapaTITA & P. Preman
kalau kita cermati, utk Partisipasi/peduli ttg LUSI, sebenarnya kita ga perlu harus repot2 dtg ke team BPLS ato ngluruk ke pusat/jkt utk presentasi ato harus keluarkan “kocek/duit,
contohnya : cukup kita baca berulang-ulang”
“teknik EBS team ITS, kendala apa yg sebenarnya mereka hadapi ?”
1. Subsidence( sdh direspon P. Syahraz & OmPapang) OK.
2. Brp volume lumpur yg keluar per harinya ??
marilah kita bantu, kita carikan solusi utk point-2, bagaimana menghitung volume lumpur yg keluar per harinya ?? bila P. PapaTITA + P. Preman maybe bisa memberikan rumusan2/itungannya(solusi)secara detail/akurat, pasti team ITS akan sangat2 berterima kasih, ini akan memperlancar suatu proses.
sanyangnya lom ada respon dr temen2 di blog ini, juga respon P. Syahraz + OmPapang juga lom “Nongol”
maaf, sdg sy sendiri juga miskin ttg ilmu Geologi, Geofisika, mekanika fluida, dll.
Team ITS itu nggak cuman asal nembus doang. Dia juga keluar uang, seperti percobaan yang lalu2. Saat ini, model2 seperti itu yang dicari BPLS.
Kalau gagal, jangan harap kerjanya diganti, seperti team ITB dengan BOLTON nya. Masih untung biaya BOLTON nya diganti. Kalau ini biaya pipa dan kerjanya semua dari kantong sendiri.
Kalau mau teori2 yang ada disini dijalankan, selain butuh orang yang mengajukan, juga butuh duit. Lha apa mau kita2 di sini urunan?
Kalau mau, biar aku saja yg nagih, kan sesuai keahlian = Preman.
Enak juga…bisnis dari kalangan perguruan tinggi ini, gak ada resiko eh.
Dulu HDCB , biar gak ada hasil tetap dibayar. Sekarang EBS dan sudah
gembar-gembor pake teori opa Bernoulli..ck..ck.. Padahal bu Hime
bilang gak ada teori Bernoulli disitu, cuman counter..apa gitu (sori lupa).
OmPapang bilang, koq ruwet amat pake pipa setinggi Semeru….padahal
cukup pake…….kan sangat sederhana, astaga!
Tapi gak apalah, asal tetap konsisten no cure no pay.
Paling2 cuman mahasiswa ITS yang tereak: “Hore! kita ke mall yuk,
gak ada dosen dikelas” Ini namanya pelacuran profesi!
Sebenarnya langkah ITS kan udah bener, mampu nembus langsung ke BPLS agar proposalnya goal dan 10-15 orangnya mampu kerja di lapangan.
Lha disini rata2 kan udah punya kerjaan lain, lha kapan teori2 disini dijalankan wong ndak ada orangya.
Setuju! Salam kompak juga mang Ipin.
Oh..ini bukan nonton bola-sepak, tapi catur Mang! Kata orang,
penonton catur lebih dapat melihat langka2 yang jitu dibanding
pemainnya. Tanya deh omPapang kalo gak percaya.
Sayangnya usil lihat langka2 dari tim ITS ini sangat meragukan.
Ini yang namanya mau sekak tapi pake loper doang, kapan matinye?
Usil cuman lagi pusiiing…. mikirin bagaimana menyeret agar bu Hime/
RIrawan dapat ikut kontribusi pada topik yang sangat menarik ini.
Topik EBS ini akan menarik dibahas kalo salah satu dari dua tokoh
diatas muncul. Kalo sudah begitu, maka kita gak perlu kili2 si Om,
dia pasti akan otomatis jadi cerewet dengan sendirinya, aku jamin itu.
Tapi kalo si Om gak dapat sparing, astaga! dia akan nulis hikayat
bendi kek, andong kek…dan macam2 kayak dijudul sebelah itu, tahu rasa!
Wheleh..wheleh !!! bung Usil zangan gitu donk! masak coman mau nonton dari pinggir
an aza???? sedang para suporter pertandingan sepak bola dari pinggiran banyak bikin
keramaian..iya nggak bro????kalo team kecil ya separuhnya dari team ITS gitu bung
Usil termasuk ogut n sohib iya khan,biar Aa jadi bagian penulis dan bung Usil diberi kehormatan untuk procurement chief baru namanya adil!!!apa kedua team akan mulai
melaksanakan hajatannya or bergantian,biar dikasih team ITS dulu saza,baru nanti team dari Blognya Pak Dhe nyusul? gimana setuju bung Usil???? lam kompak selalu
Aduuuuh, sudah lama sekali gak baca komentar dari pak Syahraz.
Pak Syahraz! koq bertapanya lama sekali sih?
Ah…ini pasti rame. Kalo ‘pemain’ lama pada muncul, blog ini bakal
semarak lagi. Tinggal tunggu salah satu lagi, bu Hime atau pak RIrawan.
Dari ITS: Sekitar 10-15 orang selanjudnya disebut tim ITS
Dari blog pak Dhe: Cukup 4/5 orang, yaitu (Rirawan/bu Hime, omPapang,
pak Syahraz, pak Inyo) yang selanjudnya disebut tim KECIL
Mang Ipin sebagi konduktor, selanjudnya akan meNARIK kedua tim
dalam pembahasan. Sedangkan usil, nonton dari pinggiran…..yeeee!
Yth. P. Syahraz, OmPapang dkk.
yg jadi kendala teknik EBS team ITS adl:
1. Subsidence( sdh direspon P. Syahraz & OmPapang) OK.
2. Brp volume lumpur yg keluar per harinya ??
kedala pd point ke 2 tsb kayaknya diperlukan oleh team ITS tapi lom terjawab, barangkali P. Syahraz/OmPapang bisa memberikan solusi??
pernah ada pertanyaan yg senada dr P. Giusty di blog ini, sy jawab begini: “P. Giusty, utk sederhananya “selisih volume” antara “volume awal” dg “volume akhir” akan didapat “nilai/angka yg dimaksud”, seharusnya alat ukur(semacam current meters) + record data2 tsb ada di team BPLS”
tapi jawaban tsb kayaknya bukan yg beliau maksud, mereka perlu itung2an/formulanya, gimana?
Selamat datang kembali Pak Syahraz, mana oleh-olehnya dari pedalaman ! Kakekane, ape ngilang maneh !
Assalamualaikum,
Sudah lama saya tidak komentar online nih… 🙂
mohon maaf kalau saya tidak bisa online, soalnya sibuk kerja di lapangan, jadi ya mohon dimaklumi lah… Inipun juga tidak bisa lama, kalau sempat, saya pasti online lagi…. 🙂
Untuk EBS, memang benar kalau yang dikhawatirkan adalah amblesnya tanah. Tanah bisa ambles kalau lumpur yang keluar ditampung diluar “area”. Logikanya begini, jika tanah dari dalam “sumur” keluar secara vertikal kemudian dialirkan ke samping, maka otomatis tanah yang diatasnya akan ambles. Untuk mencegah ambles, ya lumpur yang keluar secara vertikal harus ditampung secara vertikal kemudian baru bisa di”inject” kembali ke dalam sumur. Kalau ditampung secara horisontal ya jangan harap bisa lolos dari “land subsidence”.
Hukum bernoulli pun juga bilang kalau tekanan keatas dan kebawah harus seimbang. Why think horizontal? Think vertical !
Wassalamualaikum..
kok metu telu ?
eh, lupa, kalau pipanya tebal beratnya lebih dari 20 kg/meter pjng. tapi kalau tipis ya kurang dari 20 kg /meter,jadi cukup dipakai 10 drum. Tentang tebal tipisnya pipa yang berkaitan dengan kekuatan menahan tekanan mestinya sudah dihitung oleh tim.
eh, lupa, kalau pipanya tebal beratnya lebih dari 20 kg/meter pjng. tapi kalau tipis ya kurang dari 20 kg /meter,jadi cukup dipakai 10 drum. Tentang tebal tipisnya yang berkaitan dengan kekuatan menahan tekanan mestinya sudah dihitung oleh tim.
eh, lupa, kalau pipanya tebal beratnya lebih dari 20 kg/meter pjng. tapi kalau tipis ya kurang dari 20 kg /meter. Jadi cukup dipakai 10 drum. tentang tebal tipisnya yang berkaitan dengan kekuatan menahan tekanan mestinya sudah dihitung oleh tim.
Pak Usil dkk, aku belum jelas tentang EBS, komentarku sedikit aja ya ? Sementara om berharap drumnya diisi penuh styrofoam agar bila bocor & kemasukan air tidak tenggelam. Bila kuatir styrofoam leleh kena panas, bisa diganti dengan pecahan arang kayu. Kalau 40 buah sambungan pipa dipakai semua,maka pipa yang akan disambung jumlahnya akan menjadi 42 batang dengan panjang total 252 meter. Jadi masih butuh pipa 42 – 16 = 24 batang. Pekerjaan yangpaling sulit adalah menyambung pipa dan memasukan pipa kedalam lubang semburan. Kalau 252 meter pipa dapat masuk kelubang semua, mungkin akan kelihatan pengaruhnya yang signifikan, tapi bila pipa hanya masuk 96 meter, rasanya kok masih kurang panjang.
Untuk 10 drum pelampung menurut Archimedes hanya mampu dibebani 2000 kg. Apakah pelampung tersebut mampu memikul beban berupa pipa diameter 6 ” dengan isi penuh lumpur sepanjang 252 m atau katakan hanya 96 meter terpasang “ndlosor” (horisontal)sedemikian hingga tetap bisa terapung (tidak tenggelam) , rasanya tidak. Berat per meter panjang pipa 6 ” berisi lumpur mesti jauh diatas 20 kg. Sehingga 96 meter tentu berbobot lebih dari 2000 kg. Akibatnya akan menenggelamkan 10 drum pelampung. Jadi tentunya akan butuh lebih banyak drum lagi.Dan yang paling BAHAYA kalau ada pipa yang menjulang keatas , walau diperkuat dengan cremona atau semacam konstruksi tower dengan ujung kaki ada pada drum pelampung.