Semburan Lumpur Sidoarjo akibat Gunung Tua Aktif Kembali

SERGEY V KADURIN

GUNUNG LUMPUR – Laporan hasil penelitian ilmuwan asal Rusia dari Universitas Odessa, Ukraina, menyatakan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, bukan berasal dari pengeboran, melainkan akibat kegiatan seismik. Dengan demikian, memicu kembali aktifnya gunung lumpur tua yang telah terbentuk sekitar 150.000-200.000 tahun lampau. (Suara Karya/Ist)\Senin, 4 Oktober 2010

JAKARTA (Suara Karya): Semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlanjut hingga kini, diakibatkan aktifnya struktur gunung lumpur yang telah terbentuk sekitar 150.000-200.000 tahun lalu. Sejumlah ilmuwan terkemuka Rusia yang meneliti semburan lumpur Sidoarjo menyatakan, bencana tersebut bukan disebabkan aktivitas pengeboran sumur minyak di sekitar area tersebut.

Tim ilmuwan Rusia Institute of Electro Physics yang dipimpin Sergey V Kadurin menyimpulkan, semburan tersebut merupakan hasil langsung dari pengaktifan kembali gunung lumpur tua yang terjadi akibat dari serangkaian kegiatan seismik. Gunung lumpur itu kemudian meletus pada 29 Mei 2006 silam. Letusan dipicu serangkaian kegiatan seismik yang telah dimulai 10 bulan sebelum terjadinya letusan lumpur di Sidoarjo.
Aktifnya kembali gunung lumpur ini ternyata sudah dipicu oleh dua gempa bumi yang terjadi sekitar 10 bulan pada 9 Juli 2005 dengan pusat gempa tepat di bawah zona letusan lumpur dengan kekuatan gempa 4,4 skala richter (SR). Kemudian diikuti gempa berkekuatan 5,5 SR yang berjarak sekitar 450 kilometer dari lokasi lumpur.
“Gempa bumi yang terjadi sekitar satu tahun sebelum letusan lumpur Sidoarjo memengaruhi di bawah zona letusan lumpur di area struktur gunung lumpur. Ini merupakan salah satu peristiwa geologi yang membantu pembukaan saluran lumpur,” kata pengajar senior di Universitas Odessa di Ukraina ini, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut dia, pergerakan patahan Watukosek yang terjadi terus-menerus telah membantu proses ini lebih lanjut. “Dan gempa bumi yang terjadi dua hari sebelum letusan terjadi, bisa menjadi sebuah kick-off yang terakhir,” ujarnya.
Kesimpulan tersebut didasari penelitian panjang dan serius dengan mengonstruksi sebuah sistem informasi geologi (geological information system/ GIS) yang memungkinkan mereka menciptakan sebuah model 3 dimensi dari formasi geologi bawah tanah di area tersebut.
Hal tersebut memungkinkan tim memiliki gambaran sesungguhnya dari sumber lumpur dan bagaimana sumber lumpur itu memiliki saluran dan lalu menyembur keluar.
Juru Bicara Tim Rusia Boris Gromov mengatakan, minat para ilmuwan dalam meneliti peristiwa ini, di samping ingin membantu masyarakat Indonesia dalam memecahkan masalah yang disebabkan gunung lumpur di Jawa, juga sebuah bukti dari persahabatan dan kerja sama antara Rusia dan Indonesia yang telah terjalin sejak lama. “Rusia juga telah memiliki pengalaman yang luas dalam menangani gunung lumpur yang banyak terdapat di daerah-daerah yang kaya hidrokarbon, seperti di kawasan Asia Tengah,” katanya.
Sementara itu, Senior Manager Geologi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Awang Harun Setyana mengatakan, gempa bumi sangat signifikan memicu letusan gunung lumpur. “Banyak gunung lumpur di Pulau Jawa dan daerah tersebut merupakan episentrum. Gempa bumi sangat signifikan memicu letusan gunung lumpur,” ujar Awang. Menurut dia, erupsi lumpur tidak pernah datang dari lubang sumur, tapi berasal dari sesar yang membentuk garis lurus sepanjang 40 kilometer.
Di lain pihak, Wakil Ketua Badan Penanganan Lumpur Sidoarjo, Prof Hardi Prasetyo, menegaskan, ancaman semburan lumpur di Jawa memang sangat nyata, kendati selama ini belum masuk dalam agenda bencana alam pemerintah selama ini. “Kasus Lusi (lumpur Sidoarjo–Red) membuka kesadaran seriusnya ancaman semburan lumpur,” katanya. Untuk itu, dia mengatakan, sejak tahun 2009 pemerintah mengambil alih sepenuhnya kasus Lusi. “Masalah ini sesungguhnya telah terjadi sejak dulu kala. Bahkan sebagian ilmuwan percaya bahwa Kerajaan Majapahit runtuh bukan karena perang, tapi karena semburan lumpur,” tuturnya.
Terkait dengan temuan ilmuwan Rusia Kadurin tersebut, Vice President Relations and Social Affairs Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana mengemukakan, sejak awal Lapindo melakukan pengeboran sudah sesuai prosedur yang ditentukan. Namun, begitu terjadi semburan, muncul berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa itu merupakan kesalahan industri.
“Berbagai polemik pun bermunculan,” ujarnya. Sampai akhirnya, putusan MA menetapkan bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan fenomena alam.
Saat ini, menurut Yuniwati, sejak diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 40 Tahun 2007, penanganan teknis lumpur Lapindo sudah diambil alih pemerintah. Dalam hal ini dtangani Badan Penanganan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Jadi, menurut Yuniwati, pihak Lapindo sudah tidak berwenang lagi.
Dia menambahkan, menurut peta area terdampak sejak 22 Maret 2007, PT Lapindo Brantas hanya bertanggung jawab menangani persoalan dan daerah yang terkena dampak semburan sesuai peta itu. “Jadi, untuk yang sekarang, kita tidak berwenang lagi menangani. Baik itu daerah baru yang terkena dampak semburan atau masalah teknis untuk menangani masalah semburan itu sendiri,” tuturnya. (Budi Seno/A Choir)

Tinggalkan komentar